Sejarah Indonesia (1959–1965) adalah masa di mana sistem Demokrasi Terpimpin sempat berjalan di Indonesia. Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara, kala itu Presiden Soekarno. Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.
Pada masa ini muncul Dekret Presiden 5 Juli 1959 adalah dekret yang dikeluarkan oleh Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno pada 5 Juli 1959. Isi dekret ini adalah pembubaran Badan Konstituante hasil Pemilu 1955, penggantian undang-undang dasar dari UUD Sementara 1950 ke UUD '45 dan pembentukan MPRS dan DPAS.
Dengan dikeluarkannya Dekret tersebut Presiden Soekarno membuat konsep politik sebagai panglima yang juga muncul istilah NASAKOM atau Nasionalisme, Agama dan Komunisme. Konsep ini dapat membuat Indonesia menjadi salah arah dan terciptanya pemerintahan DIKTATOR (orla).Yang mana barang siapa yang bertentangan dengan pendapat pemerintah akan di tuduh:
- Anti Manifesto politik / Undang-Undang Dasar 1945
- Kontra Revolusi
- Agen Subversi (pemberontakan dalam merobohkan struktur kekuasaan)
- Kapitalis Birokrat (orang yang mempunyai kedudukan di dalam lembaga pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaan dan kedudukan untuk memperkaya golongan atau diri sendiri)
1. Kongres IX di Surabaya BI Oktober/Nompember 1959 :
Seperti pada kongres sebelumnya Subandri dkk, melancarkan aksinya dengan mengadudomba, memfitnah peserta untuk memasukkan faham kominis dan menempatkan orangnya ke tubuh PB PGRI. Namun masih juga tidak berhasil dan ME. Subandinata tetap terpilih sebagai Ketua Umum PB PGRI.
2. Kongres X di Gelora Bung Karno Jakarta Th. 1962 :
Periode tahun 1962-1965 merupakan episode yang sangat pahit bagi PGRI. Dalam masa ini terjadi perpecahan dalam tubuh PGRI yang lebih hebat dibandingkan dengan pada periode-periode sebelumnya. Penyebab perpecahan itu pun bukan demi kepentingan guru atau profesi guru secara keseluruhan, melainkan karena ambisi politik dari luar dengan dalih “machtsvorming en macthsaanwending” (pembentukan kekuatan dan penggunaan kekuatan) yang diterapkan melalui berbagai macam organisasi masyarakat. Kubu komunis berhasil menunjuk Soepardi dan Goldfried “macan” menjadi Ketua dan Wakil Ketua pemilihan PB PGRI. Ternyata Goldfried termasuk salah seorang penandatanganan “surat fitnah” sehingga timbul protes dari sidang pleno, sehingga Goldfried dikeluarkan dari panitia dengan demikian pemilihan ketua umum dan susunan PB PGRI berjalan lancar dengan memilih kembali M.E. Subiadinata sebagai ketua umum.
Lahirnya PGRI Non-Vaksentral/PKI
Pada bulan-bulan pertama sesudah kongres X, PGRI menghadapi kesulitan besar terutama karena kekurangan dana. Bukan karena jumlah iuran anggota yang kecil (Rp 1,50) melaikan karena pemasukan dana dari Jawa Tengah dan Jawa Timur sangat seret. Iuran dari beberapa cabang yang setia pada PB PGRI di kedua provinsi tersebut disabot oleh pengurus daerah yang pro-PKI, meskipun demikian, kegiatan PGRI tetap berjalan dalam upayanya memperjuangkan nasib para guru.
Masalah dukungan PGRI terhadap masuknya PSPN (Persatuan Serikat Pekerja Pegawai Negeri) ke dalam SOKSI yang diputuskan dengan 12 suara pro lawan 2 suara kontra pada hakekatnya tidak mengubah kekompakan di lingkungan PB PGRI. Hal ini disebabkan adanya kejelasan pada semua pihak saat itu bahwa dukungan tersebut dengan sendirinya tidak berlaku lagi jika dua syarat yang diajukan oleh PB PGRI, yakni “SOKSI bukan merupakan Vaksentral” dan “nama SOKSI harus diganti”, tidak terpenuhi.
Suasana tegang benar-benar terasa setelah PB PGRI ikut serta dalam musyawarah penegasan pancasila sebagai dasar pendidikan nasional yang dilangsungkan pada 17 Juli 1963 di Jakarta. Musyawarah ini diadakan oleh 5 partai politik dengan 40 ormasnya sebagai reaksi terhadap “seminar pendidikan mengabdi manipol” yang diadakan pada bulan Februari 1963 di Jakarta oleh Lembaga Pendidikan Nasional (LPM) yang dibentuk oleh PKI dan kawan-kawannya. Maka menjadi jelas siapa yang memihak musyawarah penegasan pancasila sebagai dasar pendidikan nasional dan siapa yang memihak seminar pendidikan mengabdi manipol. Setelah PGRI ikut serta dalam musyawarah penegaran pancasila tersebut, maka Moejono dan Ikhwani mengajukan nota pengunduran diri.
Semua pengurus cabang dan sebagaian besar anggota PGRI mengetahui bahwa biasanya rapat PB PGRI diadakan setiap selasa malam. Soebrandri, Moejono, dan Ikhwani pun tahu betul bahwa pada selasa malam tanggal 9 Juni 1964 itu akan dibicarakan masalah SOKSI sesuai dengan keputusan rapat PB PGRI sebelumnya. Keputusan PB PGRI untuk menarik kembali dukungannya terhadap masuknya PSPN ke dalam SOKSI akan keluar. Oleh sebab itu, dengan tergopoh-gopoh kelompok Soebandri, Moejono, dan Ikhwani menyelenggarakan rapat pada hari Minggu tanggal 7 Juni 1964, karena bila terlambat, meraka tidak mungkin lagi dapat mempergunakan dalih Non-Vaksentral sebagai senjata propaganda mereka. Sementara itu secara terbuka mereka tidak berani membela “panca cinta” sebagai isi moral sistem pendidikan pancawardhana. Meskipun demikian, pada akhirnya terbuka juga maksud tersembunyi mereka.
Pada malam perkenalan untuk apa yang mereka sebut “PB PGRI Non-Vaksentral”, ternyata tidak banyak orang yang datang sebagai penggantinya, mereka mengerahkan murid-murid sekolah yang tidak tahu menahu urusan politik namun acara perkenalan tersebut dilarang oleh polisi, sehingga dengan cepat panitia mengubahnya menjadi “malam angklung”. Pada usaha ke dua kali beberapa hari kemudian, mereka berhasil melakukan acara perkenalan tersebut dengan menggunakan aula departemen P dan K yang sempit.
Selain
melalui PGRI penyusupan mereka dilakukan pula terhadap aparatur pendidikan,
terutama di lingkungan departemen P dan K, mulai dari yang bertugas dalam
perancangan anggaran pendidikan sampai pelaksanaan pendidikan di lapangan. Hal
ini menyebabkan suasana kerja semakin ruyam.
Pemecatan Massal Pejabat Departemen P dan K (1964)
Pidato inaugurasi Dr. Busono Wiwoho pada rapat pertama majelis pendidikan nasional (Mapenas) dalam kedudukanya sebagai salah seorang wakil ketua, menyarankan agar pancawardhana diisi dengan moral “Panca Cinta”. Sistem pendidikan pancawardhana dilandasi dengan prinsip-prinsip : (1) perkembangan cinta bangsa dan cinta tanah air, moral nasional/internasional/keagamaan, (2) perkembangan kecerdasan, (3) perkembangan emosional-artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahir batin, (4) perkembangan keprigelan atau kerajinan tangan, dan (5) perkembangan jasmani. Moral Panca Cinta meliputi: (1) cinta nusa dan bangsa, (2) cinta ilmu pengetahuan, (3) cinta kerja dan rakyat yang bekerja, (4) cinta perdamaian dan persahabatan antara bangsa-bangsa, (5) cinta orang tua (suara guru,no. 11/1985).
Isi pidato tersebut menimbulkan pertentangan dan kegelisahan dikalangan pendidik. Polemik tentang dasar dan isi moral pendidikan nasional kemudian menjadi perhatian banyak orang termasuk di lingkungan PGRI, karena dirasakan sangat berkaitan langsung dengan tanggung jawab setiap orang yang berkecimpung dalam pendidikan. Di lingkungan Departemen PP & K, polemik itu makin meruncing ketika dalam rapat dinas tanggal 23 juli 1964 Menteri PP & K, Dr. Prijono (1957-1966) memancing kembali suasana polemik tersebut. Akibatnya, pembantu menteri, Tartib Prawirdiharjo, meninggalkan rapat karena dituduh menghianati menterinya.
Keputusan presiden No. 187/1964 dan No. 188 1964 tanggal 4 Agustus 1964 yang diambil atas usul menteri P & K ( perubahan dari P & K sejak tahun 1964) tanggal 29 juli 1964 no. 17985/S tentang reorganisasi departemen P & K yang mengubah jumlah pembantu menteri P&K dari 3 menjadi 2 orang. Hal ini sangat menggelisahkan kebanyakan pejabat di lingkungan Departemen P & K, karena dirasakan tidak adanya jaminan hukum/ (rechtzekerheid) bagi pegawai dan karier mereka. Maka sebanyak 28 pegawai tinggi Departemen P & K (seorang kemudian menarik diri) mengirim surat kepada menteri Prijono dengan maksud untuk menjernihkan kembali suasana di Departemen P & K. Surat itu ditaggapi dengan memberhentikan ke-27 pejabat tersebut dengan alasan “atas dasar permintaan sendiri”. Nama dan jabatan ke 27 orang tersebut dikemukakan pada tabel di bawah ini.
No |
Nama |
Pangkat |
Jabatan |
1 |
Tardib Prawirodiharjo |
F-VI |
Pembantu menteri bidang Personil dan Organisasi |
2 |
Soejono Kromodimulyo |
F-IV |
Pegawai tinggi di perbantuan pada biro hubungan luar negeri |
3 |
Soeprapto Tjokrowirono |
F-IV |
Kepala biro perbelakan PDK |
4 |
Karim M. Duriat |
F-V |
Kabag pembina buku pelajaran |
5 |
M. E. Subiadinata |
F-IV |
Pengawas pendidikan guru |
6 |
Abdullah zahri |
F-IV |
Kepala biro urusan sokongan |
7 |
Sutojo manguntejo |
F-IV |
Kepala biro kesejahteraan pegawai |
8 |
Sudiro tjokrokusumo |
F-V |
Pegawai tinggi, d/p Balai Pustaka |
9 |
R.M. Sumodijono |
F-IV |
Wakil kepala biro urusan sokongan |
10 |
Slamet I |
F-V |
Kadit pend. Dasar dan prasekolah |
11 |
Slamet II |
F-IV |
Inspektorat pend. Dasar/prasekolah |
12 |
Ir. B. Hoo Kian Lam |
F-V |
Pegawai tinggi d/p LAPIP |
13 |
Soetardjo Purwobroto |
F-V |
Direktur yayasan lektur |
14 |
P. Tirtopramono |
F-IV |
Bekas anggota jawatan pend. Umum |
15 |
Daniel Adnani |
F-II |
Pegawai lembaga bahasa asing |
16 |
A.S. Harahap |
F-IV |
Inspektorat pend. Dasar/prasekolah |
17 |
Brotomuljono |
F-IV |
Pengawas smp pada dikmenum |
18 |
Drs. Tarwotjo |
F-II |
Pegawai direktorat dikdas |
19 |
A.H. Harahap |
F-IV |
Staf menteri bidang pendidikan |
20 |
Ny. D. Titopramono |
F-IV |
Pengawas smp pada dikmenum |
21 |
Ny. Hajatoen Wasito |
F-VI |
Kadit pendidikan kejuruan |
22 |
M.H. Husein |
F-IV |
Ka. Inspektorat kewajiban belajar |
23 |
Anisah Bekti |
F-IV |
Pegawai lembaga bahasa asing |
24 |
N. Kartini Prawirotenojo |
F-IV |
Kaur pada dit. Pendidikan kejuruan |
25 |
Seobekti Dhirdjoseputro |
F-III |
Pegawai lembaga bahasa asing |
26 |
Drs. Hamami Saaman |
F-IV |
Ka. Lemb. Penyelidikan & penelitian |
27 |
R.H.M. Hidajat |
F-IV |
Kepala biro pendidikan asing |
Tindakan meteri P & K menimbulkan heboh di seluruh tanah air. Berbagai ormas dan beberapa perwakilan dari dinas P & K memprotes keras pemberhentian tersebut. Sebaliknya, serikat pekerja pendidikan dan apa yang di namakan PGRI Non-Vaksentral yang pro PKI menyokong pemberhentian tersebut. Posisi Prijono malah semakin kuat. Dalam reshuffle kabinet pada Agustus 1964, presiden soekarno mengangkat Prof. Prijono selaku menko P & K dan Ny. Artati Marzuki Sudirjo sebagai menteri PD & K. Kemudian “kelompok 27” yang telah diberhentikan itu segera mengirimkan kawat pada menteri PD & K yang baru dengan menyatakan kesediaannya untuk membantu. Akan tetapi kawat tersebut tidak mendapat tanggapan dengan alasan permasalahannya sudah berada di tangan presiden. Kemudian, 24 dari 27 orang pejabat tinggi tersebut ditampung oleh markas besar TNI Angkatan Darat dan nasibnya diurus oleh Letnal Kolonel Amir Murtono, S.H. (kelak menjadi ketua umum Golkar). Tiga orang pejabat lainnya diangkat oleh menteri dalam negeri: dua orang sebagai pembantu khusus menteri dan seorang lagi sebagai ketua PMI Pusat.
Karena heboh mengenai pemecatan 27 orang pejabat berkenaan dengan isi moral pendidikan pancawardhana, akhirnya presiden membentuk sendiri panitia dengan nama “panitia negara penyempurnaan sistem pendidikan pancawardhana”. Panitia ini diberi tugas untuk menyampaikan pertimbangan tentang “pemecatan massal” tersebut. Oleh panitia negara, ke-27 orang tersebut dinyatakan tidak bersalah. Namun demikian, untuk menyelamatkan muka menteri P & K, sebanyak 13 orang diperbolehkan bekerja kembali di departemen P & K, sedangkan yang lain tetap di tampung oleh Mabes TNI-AD dan Depdagri. Akhirnya pada bulan Agustus 1966, mereka di rehabilitasi dan dikembalikan lagi ke departemen P & K oleh pemerintahan Orde Baru. Panitia negara juga menyerankan penyempurnaan konsep sistem pendidikan pancawardhana.
PGRI Pasca-Peristiwa G30 S/PKI
Periode tahun 1966-1972 merupakan masa perjuangan untuk turut menegakka Orde Baru, penataan kembali organisasi, menyesuaikan misi organisasi secara tegas dan tepat dalam pola pembangunan nasional yang baru memerlukan pemimpin yang memiliki dedikasi yang tinggi, kemampuan manajerial yang mantap, dan pengalaman yang mendukang. Dipenuhi dengan jalan kaderisasi yang tinggi dan terus menerus. Dalam kehidupan PGRI, sudah lazim pimpinan-pimpinan organisasi di setiap eselon dibentuk melalui “praktek” di lapangan dengan ditunjang oleh dasar-dasar pengetahuan kepemimpinan dalam ruang lingkup ilmu pendidikan sebagai modal utama. Pelaksanaan kaderisasi yang dimulai pada tahun 1957 di Jakarta dilanjutkan kembali mulai Juli 1973 di Bandung, Yogyakarta, dan Pandaan, Jawa Timur.
Kegiatan dan perjuangan PGRI dalam bidang pendidikan semenjak kongres VII PGRI tahun 1956 di Bandung mulai dibina kembali. Suatu hal yang penting dicatat di sini adalah PGRI tidak mau menyebut dirinya sebagai “serikat buruh”. Hal ini disebabkan jabatan guru secara hakiki berbeda dan tidak biasa disamakan dengan jabatan buruh murni. Namun demikian, sejak awal kelahiran PGRI melaksanakan kerjanya dengan berbagai organisasi buruh. Pendirian dasarnya adalah semestinya para buruh itu bersatu berdasarkan jenis lapangan pekerjaannya berjuang untuk kepentingan buruh-buruh itu sendiri, bukan untuk kepentingan politik. Identitas PGRI sendiri bersifat unitaristik, independen dan non-politik. Akan tetapi kenyataan membuktikan bahwa ada masanya, terutama pada zaman orde lama, bukan persatuan yang terjalin, melainkan sebaliknya yaitu adanya vak-vak sentral yang merupakan mental partai politik.
Mengenai kedudukan PGRI sendiri, sejak kongres VII di semarang tahun 1954 ditegaskan bahwa PGRI adalah organisasi non-vaksental yang kemudian dipakai kembali oleh PKI dengan arti yang dimanipulasi ketika mendirikan PGRI non-Vaksentral tahun 1964 yang yang dibedakan dengan PGRI kongres. PGRI mencoba untuk turun memprakarsai dan menghimpun organisasi-organisasi pegawi negeri dalam bentuk rapat kerja sama (RKS). Kemudian PGRI ke luar setelah lembaga itu dimasuki dan dikuasai oleh PKI. Selanjutnya PGRI memprakarsai pendirian PSPN (Persatuan Serikat Sekerja Pegawai Negeri) yang ketua umumnya langsung dijabat M.E. Subiadinata (ketua umum PB PGRI). Terakhir, pada tahun 1967, PGRI memprakarsai berdirinya MPBI (Majelis Permusyawaratan Buruh Indonsia). Sebagai pengembang dari MPBI lahirlah FBSI (Federasi Buruh Indonesia).
Kelahiran FBI ini disambut gembira oleh para buruh, karena mereka mendapat tempat dan bentuk organisasinya yang jelas dan tegas untuk memperjuangkan nasibnya. Dalam perkembangannya PGRI tidak mempunyai tempat di federasi tersebut, karena perdebatan yang mendasar, diantaranya:
- FBSI beranggotakan unsur buruh murni, sedang jabatan guru tidak dapat digolongkan sebagai buruh murni.
- Anggota FBSI harus buruh swasta, sedangkan anggota PGRI adalah guru-guru sekolah negeri/swasta .
- FBSI berprinsip “tradeuni unionnisme, sedangkan PGRI berprinsip “professional”.
- FBSI berada di bawah Pembinaan Departemen Tenaga Kerja, sedangkan PGRI berada di bawah pembinaan P dan K.
Sebelum era orde baru, Indonesia pernah melalui dua model demokrasi yang berbeda, yaitu Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Ternyata kedua model demokrasi tersebut tidak cocok dan malah merugikan kehidupan bangsa. Menjelang pertengahan tahun 1950-an ada indikasi yang kuat bahwa partai-partai politik berusaha membangun kekuatanya memenangkan pemilu tahun 1955. Hal ini ditandai dengan berkembangnya aneka ragam organisasi masa dengan berbagai macam bentuk, sifat, dan jenisnya; bahkan organisasi-organisasi pelajar pun sengaja dibentuk dengan berafiliasi kepada organisasi partai politik tertentu. Sebagai contoh, di lingkungan dunia pendidikan dikenal adanya ikatan Guru Marheanis, PERGUNU (Persatuan Guru NU), Ikatan Guru Muhamadiyah, PERGUKRI (Persatuan Guru Kristen Indonesia), IGK (Ikatan Guru Katolik), PGII( Persatuan Guru Islam Indonesia), Persatuan Guru PERTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut lebih banyak berkiprah dalam pembinaan ideologi golongannya daripada menangani masalah-masalah profesi keguruan. Adanya berbagai macam ikatan organisasi itu secara praktis tidak menimbulkan pengaruh yang berarti dan juga tidak meningkatkan profesionalitas guru. Dapat dikataka bahwa PGRI itulah yang sejak berdirinya secara konsisten memperjuangkan untuk memperbaiki nasib guru serta memfasilitasi peningkatan profesionalitasnya.
Perjalanan PGRI dipengaruhi oleh berbagai kepentingan golongan politik dari luar. Berbagai organisasi politik berusaha untuk memanfaatkan pelebaran pengaruh PGRI untuk kepentingan politiknya. Mereka menganggap bahwa hal ini lebih praktis daripada harus susah payah membangun organisasi sendiri dari awal. PGRI menjadi rebutan berbagai partai politik besar pada waktu itu, dengan menggunakan anggota-anggotanya yang duduk dalam kepengurusan PGRI. Dalam setiap kongres, terutama saat pemilihan pimpinan PB PGRI, banyak partai politik ikut campur. Hal ini memang tidak dapat dihindarkan dan sangat menyulitkan kedudukan PGRI.
Benar bahwa identitas PGRI adalah unitaristik, independen, dan non-partai politik. Namun sejak PGRI berdiri, bahkan hingga sekarang, tidak mungkin dibuat larangan kepada siapapun untuk menjadi anggota suatu partai politik. Kebanyakan anggota PGRI sendiri adalah guru-guru yang menjadi anggota, paling tidak simpatisan, berbagai macam partai politik. Sesungguhnya, prinsip unitaristik, independen dan non-partai politik dimaksudkan agar PGRI secara lebih terarah dapat memusatkan usahanya pada kegiatan-kegiatan yang secara langsung menunjang perbaikan pendidikan nasional pada umumnya dan nasib guru pada khususnya. Namun prinsip-prinsip tersebut dalam kenyataannya sulit dilaksanakan sepenuhnya, sehingga adanya perpecahan dalam tubuh PGRI pada masa-masa tertentu sangat mudah dimengerti. Kelak, pada masa Orde Baru, PGRI berusaha untuk mengemban misi sebagai suatu organisasi professional guru Indonesia, terlepas dari adanya “amanat-amanat sisipan”.
Usaha PGRI Melawan PGRI Non-Vaksentral/PKI
Dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959 yang kemudian disusul dengan Pidato Kenegaraan Presiden Soekarno Pada Tanggal 17 Agustus 1959 merupakan kebijakan yang diterima dengan penuh penghargaan dan harapan oleh segenap bangsa Indonesia yang telah lama mengalami penderitaan sebagai akibat dari kebijaksanan politik. Akan tetapi sungguh dalam prakteknya dekrit tersebut salah arah, sehingga tercipta pemerintahan diktator. Situasi masyarakat benar-benar berbeda. Segenap kegiatan masyarakat, termasuk kebijaksanaan pemerintah, didasari keyakinan bahwa “politik adalah panglima”. Jurang perpecahan dalam masyarakat makin menganga. Orang-orang dipaksa untuk dapat “menarik garis yang tegas tentang siapa kawan dan siapa lawan”, dan persaingan antar kelompok dan antar individu dalam masyarakat terjadi dengan cara yang berlebihan. Orang-orang yang berbeda pendapat, apa lagi bila dianggap bertentangan dengan pandangan pemerintah, dengan mudah dituduh “Kontrev” (kontra-revolusioner), anti-manipol, agen supversi asing dan sebagainya. Setiap orang berusaha untuk tidak sampai terkena atau mendapat julukan yang mematikan tersebut.
Politik nasakom (Nationalis-agama-komunis) dibangun berlandaskan bentuk persatuan semu, yang oleh PKI dijadikan sarana untuk memperkuat generasi politiknya. Lembaga apapun diusahakan untuk dinasakom-kan. Pemerintahan dipusatkan pada satu tangan yaitu bung Karno sebagai presiden atau panglima tertinggi ABRI atau Manda Taris MPR dengan macam-macam gelar agung lainnya. Semua orang, lembaga, atau bahkan perguruan tinggi seakan-akan latah bersaing untuk mempersembahkan gelar agung kepada pemimpinnya. Disegi lain, untuk menghancurkan wibawa pemerintah mulai dari akarnya, PKI melontarkan isu adanya “setan desa”, “kapitalis birokrat”, Nekolin (neo kolonialisme), dan sebagainya. Setelah terjadinya tragedi nasional G30SPKI barulah bangsa Indonesia menyadari bahwa semua itu merupakan perangkap PKI untuk mempercepat usahanya merebut kekuasaan.
Seperti halnya organisasi-organisasi lain yang sejenis, PGRI tidak luput dari ancaman tersebut. Pada kongres IX PGRI di surabaya (Oktober 1959), infiltrasi PKI kedalam tubuh PGRI benar-benar terasa dan lebih jelas lagi dalam kongres X di Jakarta (November 1962). Kiranya prinsip “siapa kawan siapa lawan” berlaku pula dalam tubuh PGRI. “kawan” adalah semua golongan Pancasilais anti-PKI yang dalam pendidikan berusaha mengamankan pancasila, dan “Lawan” adalalah PKI yang berusaha memaksakan pendidikan “Panca Cina” dan “Panca Tinggi”. Akan tetapi kekuatan golongan pancasilais di PGRI masih lebih kuat dan mampu bertahan menghadapi tantangan-tangan tersebut.
Setelah PKI yang diwakili oleh guru-uru berorientasi ideologi komunis tak mampu lagi melakukan taktik-taktik penyusupan terhadap PGRI, mereka mengubah siasat dengan melakukan usaha terang-terangan dengan memisahkan diri dari PGRI. Seperti dikemukakan sebelumnya, mereka membentuk organiasi yang menyebut dirinya PGRI Non-Vaksentral (PGRI NV). Pada bulan juni 1964. PGRI NV dibentuk dimana-mana, kadang-kadang ditempat-tempat tertentu hanya ada di atas kertas sementara anggota-anggotanya pun kadang-kadang bukan guru, melainkan pegawai Jawatan Kereta Api, buruh perkebunan atau yang lainya.
Pergolakan bebas yang ditimbulkan oleh munculnya PGRI NV terasa benar di daerah, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hal ini tergantung pada sedikit-banyaknya guru yang menjadi anggota PKI atau simpatisan. Situasi makin bertambah genting setelah Menteri P & K Prof. Dr. Prijono memecat 27 orang pejabat tinggi di Departemen P & K tahun 1964 yang justru orang –orang yang anti PKI, seperti telah diuraikan terdahulu.
Untuk menyelamatkan pendidikan dari ancaman dan perpecahan dari kalangan guru, presiden soekarno turun tangan dengan membentuk majelis pendidikan nasional yang menerbitkan Penpres (Penetapan Presiden) No. 19 tahun1965 tentang pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila sebagai hasil kerja dari Panitia Negara untuk Penyempurnaan Sistem Pendidikan Pancawardhana. Dengan turun tanganya pemerintah, memang ketegangan sedikit berkurang. Akan tetpi, bagi PGRI, Penpres tersebut tidak berhasil mempersatukan kembali organisasi, karena perpecahan yang terjadi dalam organisai itu berakar pada landasan ideologi yang sangat prinsipil. Sungguh perpecahan terseut merupkan peristiwa yang sangat pahit bagi PGRI.
Kesimpulan
Organisasi ini dapat mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia dan mempertahankan, mengamalkan serta melestarikan Pancasila dan UUD 1945. berperan aktif mencapai tujuan nasional dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk manusia indonesia seutuhnya di masa Pandemi Covid-19 in. Mahasiswa Informatika harus ikut serta berperan dalam mengembangkan sistem dan pelaksanaan pendidikan nasional. Mempertinggi kesadaran dan sikap guru, meningkatkan mutu dan prfesi guru tenaga kependidikan lainnya. Menjaga, membela, memelihara dan meningkatkan harkat martabat guru melalui peningkatan kesejahteraan anggota serta kesetiakawanan organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar